Thursday, January 10, 2013

Tak Menyesal




T
Sebuah cerpen untuk memenuhi tugas mata pelajaran Bahasa Indonesia dari Bu Khaerunisah, yang akhirnya dijadikan sebagai salah satu postingan blog ini.
Selamat menemukan inspirasi di dalamnya !



  
uhan memberikan kita ujian dari arah yang tak pernah kita sangka- sangka. Bahkan,
bagi di antara kita yang menyatakan diri telah berhijrah  dari kegelapan, bersiaplah untuk berikhlas menerima ujian dari Tuhan.

Teman kita yang satu ini bernama Mukhlis. Dia yang biasa berleha-leha terhadap tugas sekolah dan lebih memilih untuk berjibaku dengan game, media sosial, atau menarikan jari-jari pada papan komunikatif untuk berhubungan dengan teman spesialnya, telah ber-azzam (bertekad dengan sungguh-sungguh) untuk berubah. Perubahan kecil penting untuk memulai perubahan yang besar, pikirnya. Sehingga, pada suatu hari minggu Mukhlis membujuk ibunya, yang terheran-heran melihat perilakunya , untuk istirahat di rumah dan membiarkan Mukhlis menggantikan pekerjaan rumah. Bahkan pekerjaan ayahnya, yang telah berhari-hari sakit, seperti memangkas rumput di halaman, mencuci sepeda bututnya, dan menguras got depan rumah ia coba kerjakan.

Pekerjaan rumah ternyata tak sesederhana yang dibayangkanya. Mukhlis harus mengangkat ember-ember penuh air dan memeras baju-baju berbahan berat untuk mencuci baju keluarga yang sudah menumpuk. Debu dan kotoran yang membandel turut mengujinya saat menyapu, mengepel, dan mencuci piring dan gelas kotor. Dan saat ia keluar rumah untuk memangkas rumput, terik matahari terasa menyengat kepala yang pusing karena tak biasa dengan kesibukan. Namun sekali lagi Mukhlis percaya, semua ini adalah awal dari perubahan yang besar.

           Ayah Mukhlis memang tidak biasanya terserang sakit. Pola hidupnya cukup sehat. Makanan yang dikonsumsi secukupnya, tidak berlebihan. Dan ia adalah seorang pekerja keras. Mungkin ada pekerjaan yang terlampau menguras tenaganya sehingga ia jatuh sakit atau mungkin karena serangan nyamuk, batin Mukhlis. Kala itu, suhu badan ayah Mukhlis semakin memerahkan lajur thermometer using miliknya. Keringat dingin mengucur, badanya terkulai lemas di tempat tidur. Sampai akhirnya, ibunya Mukhlis memutuskan perlu membeli obat di apotik.

Jarak dari rumah Mukhlis ke apotek yang bertempat di tengah kota cukup jauh bagi orang-orang yang tidak biasa berjalan kaki atau bersepeda. Tidak mau merepotkan ibunya, Mukhlis memutuskan bersepeda ke apotik yang bertempat di kota. Ia hanya dititipkan sejumlah uang yang pas jumlahnya untuk membeli obat. Ia harus melewati perkebunan, sungai, sampai perkebunan desa untuk sampai ke kota. Entah karena terlampau semangat, tiba-tiba saja sepeda yang dikendarainya tiba-tiba oleng. Remnya blong,dan laju sepeda sulit dikendalikan. Degup jantung Mukhlis semakin kencang saat sepeda mulai melewati sungai dan kecepatanya belum pula terkendali. Dan… Byurrr !!

Meski perjalanan semakin berat karena sekarang ditemani sekelompok air yang menggelayuti  tubuhnya, dia tetap melanjutkan perjalanan. Sepeda rusak tidak menghalangi langkahnya.

“Aku tidak mau membuat ayah menunggu hanya karena aku memperbaiki dulu sepeda yang rusak ini”, ia yakinkan seperti itu dalam hatinya.

Ia lanjutkan dengan berjalan agak cepat. Terlihat oleh matanya, perbatasan kota tinggal beberapa puluh meter lagi di depan. Tepat ketika azan ashar berkumandang, sampailah ia di apotik. Kota saat itu telah riuh oleh suara azan. Sayup-sayup ia merasa ada orang yang memanggilnya. Tapi ia abaikan sementara. Setelah memarkirkan sepeda di masjid yang tepat berada di seberang apotik, Mukhlis bergegas masuk ke apotik.

            Namun, mendadak badanya terasa berkeringat dingin saat tanganya masuk ke dalam saku celana. Di dalam dompetnya, terlihat beberapa lembar uang lusuh yang basah dan rentan sekali robek. Masalahnya adalah, uangnya tidak cukup untuk membeli obat, karena sebagian telah hilang entah kemana. Ia mencari ke sekitar sepedanya, menengok ke kiri dan kanan dan merogoh bagian-bagian dalam pakainya, barangkali ada uang yang terselip. Tapi hasilnya nihil. Ia hanya melihat seorang pria paruh baya berpakaian agak lusuh yang rasanya dari tadi telah memperhatikanya semenjak ia masuk kota.

Astagfirullahalazhim… uang dari ibu yang tadi diberikan sepertinya jatuh ke sungai… “

Akhirnya Mukhlis untuk terlebih dahulu shalat ashar di masjid seberang apotik. Dalam do’anya ia berbisik,

Ya Allah
apakah ini memang ujian bagiku yang ingin berhijrah ?! seberat inikah?!
atau…
Engkau memang tidak menginginkanku termasuk orang-orang yang mendapat rahmat-Mu..??”
“Astagfirullahalazhiim
ampuni aku Ya Ghafuur…aku telah menyimpang terlalu jauh dari jalan-Mu…
aku tidak akan berprasangka buruk terhadap-Mu…
bismillah…

Tanpa sadar, pipinya basah oleh air mata. Tiba-tiba ia dikejutkan oleh seseorang yang menepuknya dari belakang. Itu pria paruh baya berpakaian lusuh tadi, namun pakainya tampak jauh lebih rapih, apalgi ditambah dengan peci putih di kepalanya. Rupanya ia adalah imam di masjid ini.

“Rumahnya di mana dik?” beliau berkata.

“Di kampung sebelah pak, desa Sukamaju.”

“Oh, saya juga kadang-kadang ke sana, melihat sawah-sawah. Sedang ada perlu apa ke kota? ”

“Mau beli obat pak, untuk ayah saya.”

“Uangnya cukup?”

Mukhlis kaget dan agak tersentak dengan pertanyaan ini. Namun ia coba untuk tenang, dan tetap berprasangka baik.

“…..Sebenarnya, tadi saya sempat mengalami kecelakaan di sungai pak. Jadi uang saya hanya cukup setengahnya untuk membeli obat.”

Subhanallah… sepertinya saya tidak salah orang dik. Tadi saya sempat melihat dari kejauhan, ada orang yang kelimpungan memakai sepeda, jatuh ke sungai. Saya coba cek, eh.. orangnya sudah pergi. Saya hanya menemukan sejumlah uang yang agak basah. Nih, ambil dik.”
            Imam itu memberikan sejumlah uang yang agak basah pada Mukhlis. Ternyata itu memang uang dari ibu Mukhlis. Tanpa berpikir panjang, Mukhlis bersujud saat itu juga, di tempat itu, di samping sang imam masjid yang sederhana dan baik hati itu.

Sang imam masjid ternyata termasuk orang berekonomi tinggi. Setelah Mukhlis membeli obat yang diperlukan, ia diantarkan pulang sampai rumahnya oleh si imam, memakai mobil X-Trail yang masih terlihat mulus. Mukhlis tak menyangka imam bermobil X-Trail ini masih mau berpakaian lusuh. “Ternyata masih ada orang yang seperti ini..”, batinya. Sesampainya di rumah, ibunya Mukhlis mempersilakan anaknya dan sang imam itu untuk masuk. Mukhlis merasa ada yang aneh di wajah ibunya. Segera saja ia menghampiri ayahnya dengan membawa obat yang dibelinya.

           Pria ini terlihat semakin lemah, mukanya terlihat lebih pucat dari tadi pagi, dan ia berkata dengan suara parau pelan,“Nak, ayah bangga padamu. Kau harus istiqamah dalam kebaikan ya?. Jadilah lebih baik dari ayah. Ingat bahwa Allah senantiasa bersama orang yang berbuat kebaikan di jalan-Nya… Terimakasih nak, ayah bangga.” Setelah itu, tak ada lagi suara yang dapat didengar Mukhlis selain ucapan lirih namun mantap dari kalimat : Asyhadu allaa ilaaha illallah , wa ashadu anna muhammadarrasuulullah .

           Dalam hatinya, Mukhlis semakin mantap untuk berjuang dalam kebaikan. Ia tidak menyesal hanya karena kecelakaan sepeda. Ia tidak menyesal mendahulukan shalat ashar ketimbang mencari uang untuk membeli obat yang sempat hilang. Ia bersyukur telah mencoba membantu mengerjakan pekerjaan ayah dan ibunya mulai hari itu. Ia tidak menyesal untuk menjadi diri yang baru.

 TAMAT

0 comments:

Post a Comment

 
;