T
|
Sebuah cerpen untuk memenuhi tugas mata pelajaran Bahasa Indonesia dari Bu Khaerunisah, yang akhirnya dijadikan sebagai salah satu postingan blog ini.
Selamat menemukan inspirasi di dalamnya !
uhan memberikan kita ujian dari arah yang tak
pernah kita sangka- sangka. Bahkan,
bagi di antara kita yang menyatakan diri telah berhijrah dari kegelapan, bersiaplah untuk berikhlas menerima ujian dari Tuhan.
bagi di antara kita yang menyatakan diri telah berhijrah dari kegelapan, bersiaplah untuk berikhlas menerima ujian dari Tuhan.
Teman kita yang satu ini bernama
Mukhlis. Dia yang biasa berleha-leha terhadap tugas sekolah dan lebih memilih
untuk berjibaku dengan game, media sosial, atau menarikan jari-jari pada papan
komunikatif untuk berhubungan dengan teman spesialnya, telah ber-azzam (bertekad dengan sungguh-sungguh)
untuk berubah. Perubahan kecil penting untuk memulai perubahan yang besar,
pikirnya. Sehingga, pada suatu hari minggu Mukhlis membujuk ibunya, yang
terheran-heran melihat perilakunya , untuk istirahat di rumah dan membiarkan
Mukhlis menggantikan pekerjaan rumah. Bahkan pekerjaan ayahnya, yang telah
berhari-hari sakit, seperti memangkas rumput di halaman, mencuci sepeda
bututnya, dan menguras got depan rumah ia coba kerjakan.
Pekerjaan rumah ternyata tak
sesederhana yang dibayangkanya. Mukhlis harus mengangkat ember-ember penuh air
dan memeras baju-baju berbahan berat untuk mencuci baju keluarga yang sudah
menumpuk. Debu dan kotoran yang membandel turut mengujinya saat menyapu,
mengepel, dan mencuci piring dan gelas kotor. Dan saat ia keluar rumah untuk
memangkas rumput, terik matahari terasa menyengat kepala yang pusing karena tak
biasa dengan kesibukan. Namun sekali lagi Mukhlis percaya, semua ini adalah
awal dari perubahan yang besar.
Ayah
Mukhlis memang tidak biasanya terserang sakit. Pola hidupnya cukup sehat.
Makanan yang dikonsumsi secukupnya, tidak berlebihan. Dan ia adalah seorang
pekerja keras. Mungkin ada pekerjaan yang terlampau menguras tenaganya sehingga
ia jatuh sakit atau mungkin karena serangan nyamuk, batin Mukhlis. Kala itu,
suhu badan ayah Mukhlis semakin memerahkan lajur thermometer using miliknya. Keringat
dingin mengucur, badanya terkulai lemas di tempat tidur. Sampai akhirnya,
ibunya Mukhlis memutuskan perlu membeli obat di apotik.
Jarak dari rumah Mukhlis ke apotek
yang bertempat di tengah kota cukup jauh bagi orang-orang yang tidak biasa
berjalan kaki atau bersepeda. Tidak mau merepotkan ibunya, Mukhlis memutuskan
bersepeda ke apotik yang bertempat di kota. Ia hanya dititipkan sejumlah uang
yang pas jumlahnya untuk membeli obat. Ia harus melewati perkebunan, sungai, sampai
perkebunan desa untuk sampai ke kota. Entah karena terlampau semangat,
tiba-tiba saja sepeda yang dikendarainya tiba-tiba oleng. Remnya blong,dan laju
sepeda sulit dikendalikan. Degup jantung Mukhlis semakin kencang saat sepeda
mulai melewati sungai dan kecepatanya belum pula terkendali. Dan… Byurrr !!
Meski
perjalanan semakin berat karena sekarang ditemani sekelompok air yang
menggelayuti tubuhnya, dia tetap
melanjutkan perjalanan. Sepeda rusak tidak menghalangi langkahnya.
“Aku
tidak mau membuat ayah menunggu hanya karena aku memperbaiki dulu sepeda yang
rusak ini”, ia yakinkan seperti itu dalam hatinya.
Ia lanjutkan dengan berjalan agak
cepat. Terlihat oleh matanya, perbatasan kota tinggal beberapa puluh meter lagi
di depan. Tepat ketika azan ashar berkumandang, sampailah ia di apotik. Kota
saat itu telah riuh oleh suara azan. Sayup-sayup ia merasa ada orang yang
memanggilnya. Tapi ia abaikan sementara. Setelah memarkirkan sepeda di masjid
yang tepat berada di seberang apotik, Mukhlis bergegas masuk ke apotik.
Namun,
mendadak badanya terasa berkeringat dingin saat tanganya masuk ke dalam saku
celana. Di dalam dompetnya, terlihat beberapa lembar uang lusuh yang basah dan
rentan sekali robek. Masalahnya adalah, uangnya tidak cukup untuk membeli obat,
karena sebagian telah hilang entah kemana. Ia mencari ke sekitar sepedanya,
menengok ke kiri dan kanan dan merogoh bagian-bagian dalam pakainya, barangkali
ada uang yang terselip. Tapi hasilnya nihil. Ia hanya melihat seorang pria
paruh baya berpakaian agak lusuh yang rasanya dari tadi telah memperhatikanya
semenjak ia masuk kota.
“Astagfirullahalazhim… uang dari ibu yang
tadi diberikan sepertinya jatuh ke sungai… “
Akhirnya
Mukhlis untuk terlebih dahulu shalat ashar di masjid seberang apotik. Dalam
do’anya ia berbisik,
“Ya Allah…
apakah
ini memang ujian bagiku yang ingin berhijrah
?! seberat inikah?!
atau…
Engkau
memang tidak menginginkanku termasuk orang-orang yang mendapat rahmat-Mu..??”
“Astagfirullahalazhiim…
ampuni
aku Ya Ghafuur…aku telah menyimpang
terlalu jauh dari jalan-Mu…
aku
tidak akan berprasangka buruk terhadap-Mu…
bismillah…”
Tanpa
sadar, pipinya basah oleh air mata. Tiba-tiba ia dikejutkan oleh seseorang yang
menepuknya dari belakang. Itu pria paruh baya berpakaian lusuh tadi, namun
pakainya tampak jauh lebih rapih, apalgi ditambah dengan peci putih di
kepalanya. Rupanya ia adalah imam di masjid ini.
“Rumahnya
di mana dik?” beliau berkata.
“Di
kampung sebelah pak, desa Sukamaju.”
“Oh,
saya juga kadang-kadang ke sana, melihat sawah-sawah. Sedang ada perlu apa ke
kota? ”
“Mau
beli obat pak, untuk ayah saya.”
“Uangnya
cukup?”
Mukhlis
kaget dan agak tersentak dengan pertanyaan ini. Namun ia coba untuk tenang, dan
tetap berprasangka baik.
“…..Sebenarnya,
tadi saya sempat mengalami kecelakaan di sungai pak. Jadi uang saya hanya cukup
setengahnya untuk membeli obat.”
“Subhanallah… sepertinya saya tidak salah
orang dik. Tadi saya sempat melihat dari kejauhan, ada orang yang kelimpungan
memakai sepeda, jatuh ke sungai. Saya coba cek, eh.. orangnya sudah pergi. Saya
hanya menemukan sejumlah uang yang agak basah. Nih, ambil dik.”
Imam
itu memberikan sejumlah uang yang agak basah pada Mukhlis. Ternyata itu memang
uang dari ibu Mukhlis. Tanpa berpikir panjang, Mukhlis bersujud saat itu juga,
di tempat itu, di samping sang imam masjid yang sederhana dan baik hati itu.
Sang imam masjid ternyata termasuk
orang berekonomi tinggi. Setelah Mukhlis membeli obat yang diperlukan, ia
diantarkan pulang sampai rumahnya oleh si imam, memakai mobil X-Trail yang masih terlihat mulus. Mukhlis
tak menyangka imam bermobil X-Trail
ini masih mau berpakaian lusuh. “Ternyata masih ada orang yang seperti ini..”,
batinya. Sesampainya di rumah, ibunya Mukhlis mempersilakan anaknya dan sang imam
itu untuk masuk. Mukhlis merasa ada yang aneh di wajah ibunya. Segera saja ia
menghampiri ayahnya dengan membawa obat yang dibelinya.
Pria
ini terlihat semakin lemah, mukanya terlihat lebih pucat dari tadi pagi, dan ia
berkata dengan suara parau pelan,“Nak, ayah bangga padamu. Kau harus istiqamah
dalam kebaikan ya?. Jadilah lebih baik dari ayah. Ingat bahwa Allah senantiasa
bersama orang yang berbuat kebaikan di jalan-Nya… Terimakasih nak, ayah
bangga.” Setelah itu, tak ada lagi suara yang dapat didengar Mukhlis selain
ucapan lirih namun mantap dari kalimat : Asyhadu
allaa ilaaha illallah , wa ashadu anna muhammadarrasuulullah .
Dalam
hatinya, Mukhlis semakin mantap untuk berjuang dalam kebaikan. Ia tidak
menyesal hanya karena kecelakaan sepeda. Ia tidak menyesal mendahulukan shalat
ashar ketimbang mencari uang untuk membeli obat yang sempat hilang. Ia
bersyukur telah mencoba membantu mengerjakan pekerjaan ayah dan ibunya mulai
hari itu. Ia tidak menyesal untuk menjadi diri yang baru.
TAMAT
0 comments:
Post a Comment